Diskusi Publik Universitas Paramadina Soroti Urgensi Kredibilitas Komunikasi Pemerintahan Prabowo

Luwuk.today, Jakarta, 11 Maret 2025 – Universitas Paramadina menggelar diskusi publik bertajuk “Kepercayaan Publik yang Hilang: Urgensi Kredibilitas Komunikasi Pemerintahan Prabowo” di Trinity Tower, Universitas Paramadina, Kuningan, pada Selasa (11/3/2025). Acara ini membahas dinamika komunikasi pemerintahan di Indonesia serta pentingnya kredibilitas dalam menyampaikan informasi kepada publik, dengan fokus pada pemerintahan yang dipimpin oleh Prabowo Subianto.
Diskusi yang dimoderatori oleh Faris Budiman Annas, M.Si., Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, mengangkat isu-isu strategis terkait perubahan pola komunikasi pemerintahan sejak era Presiden Soekarno hingga era saat ini.
Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, dalam sambutannya, menyoroti perbedaan pola komunikasi pemerintahan dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga saat ini. Prof. Didik menjelaskan bahwa komunikasi politik di era SBY terorganisir dengan baik dan transparan, dengan adanya juru bicara resmi seperti Andi Mallarangeng dan Dino Pati Djalal. Namun, setelahnya, pola komunikasi semakin terdistorsi akibat dominasi buzzer politik di media sosial.
“Para buzzer ini tidak memiliki posisi dan kedudukan yang jelas, apakah mereka bagian dari civil society, LSM, atau wakil pemerintahan. Jika mereka adalah relawan, sebaiknya dimasukkan ke dalam institusi resmi seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika agar transparan dan bisa dikontrol,” ujar Didik.
Prof. Didik juga mengutip riset LP3ES yang menyatakan bahwa hoaks sering kali berasal dari institusi negara. Ia mengangkat contoh narasi yang menyamakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Taliban, yang dianggap sebagai bagian dari upaya sistematis untuk membentuk opini publik yang keliru.
Andi Mallarangeng, mantan juru bicara Presiden SBY, menjelaskan bahwa sejak era Bung Karno hingga Jokowi, pola komunikasi pemerintahan terus berubah. “Di era Bung Karno, ada juru bicara ideologi. Di era Soeharto, komunikasi dijalankan oleh para menteri tanpa juru bicara khusus. Gus Dur sempat memiliki empat juru bicara yang bekerja dalam sistem shift, tetapi ini menimbulkan inkonsistensi informasi,” ujarnya.
Pentingnya komunikasi yang tertata rapi terlihat pada era Presiden SBY. Andi menilai, di era ini, juru bicara memiliki peran yang jelas dan terorganisir dalam menyampaikan kebijakan pemerintah kepada publik. Namun, ia menilai bahwa di era pemerintahan Presiden Jokowi, juru bicara kurang berfungsi optimal, dengan komunikasi lebih banyak dilakukan oleh buzzer yang kerap kali bersifat menyerang lawan politik.
Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Zulfiani Lubis, menambahkan bahwa pola komunikasi pemerintahan semakin bergantung pada media sosial di era digital ini. Ia menyebutkan bahwa di era Jokowi, pertemuan langsung dengan pemimpin redaksi lebih terbatas, dengan durasi yang singkat. “Di era Jokowi, pertemuan dengan pemimpin redaksi hanya dilakukan dua kali setahun, sehingga kesempatan untuk klarifikasi terbatas,” ujarnya.
Uni juga membandingkan pola komunikasi ini dengan era SBY, di mana pemerintah lebih terbuka terhadap media, mengakomodasi hingga 65 pemimpin redaksi dalam diskusi yang berlangsung lama, memungkinkan adanya klarifikasi yang lebih mendalam.
Jurnalis senior, Budiman Tanuredjo, menyoroti pentingnya komunikasi yang berbasis pada mutual respect antara pemerintah dan media. Ia mengingatkan bahwa komunikasi yang baik bukan hanya soal menyampaikan informasi, tetapi juga membangun pemahaman yang mendalam antara kedua belah pihak.
“Di era SBY, komunikasi lebih tertata dan menghargai hubungan antara pemerintah dan media. Ketika ada kritik keras dari media, pemerintah merespons dengan membuka ruang diskusi. Ini yang tidak terlihat di pemerintahan saat ini,” katanya.
Budiman menegaskan bahwa kritik media tidak seharusnya dilihat dalam kerangka polarisasi biner “jika tidak mendukung, berarti menentang.” Menurutnya, kritik yang konstruktif menjadi bagian dari demokrasi yang sehat dan penting untuk membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Abdul Rahman Ma’mun, Dosen Universitas Paramadina, menekankan bahwa komunikasi pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada personalisasi pejabat, tetapi juga pada fungsi-fungsi yang dijalankan. Menurutnya, Presiden sebagai komunikator utama memiliki tanggung jawab besar dalam membangun kepercayaan publik, tidak hanya melalui retorika tetapi juga dengan tindakan yang konsisten dan transparan.
“Publik tidak peduli siapa yang menyampaikan informasi, yang mereka inginkan adalah transparansi dan konsistensi. Jika komunikasi pemerintah tidak dikelola dengan baik, kepercayaan publik akan benar-benar hilang,” tegas Abdul Rahman.
Abdul Rahman juga mengingatkan bahwa dalam era keberlimpahan informasi, transparansi harus diwujudkan tidak hanya dalam jumlah informasi yang tersedia, tetapi juga dalam kualitas dan kredibilitasnya. Jika transparansi hanya menjadi formalitas tanpa akuntabilitas yang jelas, maka kepercayaan publik justru akan semakin tergerus.
Diskusi ini menjadi penting sebagai upaya untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemerintah melalui pengelolaan komunikasi yang lebih baik dan kredibel.



