

Sepotong Kata Bernama “Tekad”
Oleh: Muhammad Nurcholis Ridwan
Luwuk.today,- Ada sebuah karakter yang mengikat “orang-orang besar” di pelataran sejarah. Mereka sama-sama diikat oleh tekad yang kuat, atau dalam bahasa Arab disebut dengan istilah “azm” atau “himmah”. Mereka berhasil menempatkan “hal-hal besar” sebagai concern utama dari waktu yang dimiliki, lalu menepikan hal-hal remeh dan sekunder dari kehidupan mereka. Mereka bukannya tidak menikmati dunia. Mereka cuma menikmati dunia dengan “cara yang berbeda”.
Begitulah kehidupan para ulama. Banyak yang kaya, seperti Imam Malik bin Anas, Abu Hanifah atau Abdullah bin Mubarak. Tapi bukan dengan kekayaan mereka ingin dikenal. Karena kekayaan bagi mereka hanyalah sekadar buat beli “bensin” untuk mencari ilmu dimanapun ia berada.
Maka tersebutlah bahwa Abu Hanifah menolak tawaran jabatan sebagai hakim tinggi di Kota Kufah dari Gubernur Kufah kala itu, Ibnu Hubairah, meski terpaksa ia harus didera cambuk dan penjara akibat menolak jabatan. Ia bukan tidak tahu anggapan bahwa dengan menjadi qadhi ia akan membawa maslahat bagi orang banyak, seperti ijtihad banyak orang saat ini. Ia cuma tidak ingin dipenjara oleh kekuasaan dalam sebuah kerangkeng bernama “jabatan”. Walhasil, penolakannya terhadap jabatan qadhi itu justru membuat namanya semakin termasyhur dan disegani hingga kini.
Lalu kebanyakan ulama memilih sederhana, seperti Imam Syafi’i, Buya Hamka, Pak Natsir, dan lainnya, meski peluang untuk kaya terbuka lebar mengingat mereka adalah sosok-sosok yang dihormati oleh penguasa masa itu.
“Orang-orang besar” memandang obyek biasa dengan cara berbeda, lalu memandu orang banyak menuju titik yang sama. Mereka punya 24 jam waktu dalam sehari-semalam, seperti halnya saya dan Anda. Mereka cuma menempuh cara berbeda dengan yang kita tempuh sehari-hari.
Semua itu bermula hanya dari sepotong kata bernama “tekad”.
PS. Bersama Ustadz Adi Hidayat, salah satu sosok yang saya kagumi visi dan tekadnya.



