Rakyat yang Kecewa dan Bersedih, Mereka Yang Ketar Ketir Takut Kehilangan Jabatan, Menjijikan

Oleh: H. J. FAISAL*
Duplikasi Gaya IDF Yahudi Ada di Sini
Luwuk.today, Tewasnya rakyat sipil yang dilindas mobil taktis oleh aparat keamanan kepolisian briomob merupakan peristiwa yang memilukan sekaligus memalukan. Saya langsung teringat bagaimana gaya dan cara tentara IDF Yahudi ‘Israhell’ yang melakukan hal serupa terhadap rakyat Palestina….dan ternyata ada juga duplikat gaya Yahudi ‘Israhell’ di negara ini.
Ya, peristiwa tragis yang menimpa Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas setelah dilindas kendaraan taktis Brimob saat demonstrasi di Jakarta, 28 Agustus 2025 yang lalu, memang mengguncang nurani publik.
Banyak pihak menilai ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan simbol dari matinya empati dan keadilan dalam penanganan aksi rakyat. Komnas HAM pun secara ‘basa-basi’ menyebutnya sebagai bentuk kekerasan negara terhadap masyarakat sipil.
Sejatinya, rakyat bukanlah musuh negara. Mereka adalah pemilik sah negeri ini. Dan ketika satu nyawa rakyat hilang karena kelalaian atau kesewenang-wenangan, maka seluruh bangsa harus bertanya, siapa yang sebenarnya dilindungi oleh negara….para pemimpin dan pejabat korup, para anggota DPR korup, atau mereka yang dekat dengan basis lini kekuasaan korup?
Sekali lagi, dunia telah melihat bagaimana bi-adabnya perlakuan aparat bangsa ini terhadap rakyatnya sendiri. Rakyat yang telah bersusahpayah memberi makan mereka para aparat, pejabat dan para anggota parlemen melalu pajak dan hutang-hutang negara yang segunung.
Jika merujuk kepada judul novel Tere Liye….’Selamat Datang Di Negeri Para Bedebah’.
Rakyat Adalah Pemegang Kedaulatan, Bukan Penonton Demokrasi
Rakyat adalah pemegang kedaulatan penuh negeri ini, sedangkan mereka yang duduk manis dan niklmat di kursi Presiden, kursi Kapolri, kursi jabatan tinggi lainnya, bahkan di kursi empuk DPR adalah pemegang mandat yang mewakili kepentingan rakyat….sekali lagi hanya sekedar kepentingan rakyat, bukan kedualatan, seperti yang selama ini disangkakan dalam pemikiran mereka.
Sekali lagi….hanya kepentingan rakyat, bukan kedaulatan.
Baiklah, izinkan saya terangkan sedikit ya.
Kedaualatan adalah hak rakyat yang dimiki seumur hidup sampai mati. Sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945 juncto UUD 2002 pasal 1 ayat (2). Sedangkan usia titipan kepentingan itu hanya lima tahun, jadi para pemimpin rezim dan anggota parlemen DPR jangan merasa gede rasa (GR) dengan jabatan mereka. Kalian tidak bisa mengambil hak kedaulatan rakyat sampai kapanpun.
Jadi ketika rakyat ingin memperotes hak dalam kepentingannya yang tidak terwakili, maka itu adalah hal yang wajar-wajar saja. Pemerintah rezim yang berkuasa dan para anggota DPR itu jangan mencari alasan dan kambinghitam bahwa protes atau demo rakyat itu ada yang menunggangi.
Yang benar adalah bahwa protes atau demo rakyat itu adalah hasil dari kausatif sikap arogan mereka yang tidak becus bekerja dalam memegang amanah rakyat.
Mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan, baik di Istana maupun di parlemen, sesungguhnya hanyalah pemegang mandat. Mandat itu bukan warisan, bukan hak istimewa, melainkan titipan untuk mewakili kepentingan rakyat.
Ketika rakyat merasa hak-haknya tidak terwakili, maka protes dan demonstrasi adalah ekspresi yang sah dan wajar. Itu bukan bentuk pembangkangan, melainkan panggilan nurani.
Jadi, jangan lagi pemerintah atau anggota DPR berlindung di balik narasi “ada yang menunggangi.” Maka yang sesungguhnya terjadi adalah akumulasi kekecewaan akibat sikap arogan dan ketidakbecusan mereka dalam menjalankan amanah.
Demokrasi bukan sekadar prosedur pemilu. Demokrasi adalah ruang hidup rakyat untuk bersuara, menuntut, dan mengoreksi. Dan ketika suara itu dibungkam, maka yang lahir bukan ketertiban, melainkan kemarahan.
Baik, sampai di sini paham ya….
Pemimpin Pengecut Berlindung di Balik Ketiak Kekuasaan
Di tengah kekecewaan rakyat yang kian mendalam, kita menyaksikan satu pola yang terus berulang: pemimpin yang terlalu banyak bicara, namun minim kerja nyata. Mereka berlindung di balik ketiak lembaga legislatif, menaikkan gaji dan tunjangan tanpa prestasi, seolah jabatan adalah hak istimewa, bukan amanah.
Dengan kata lain, pemimpin yang terlalu banyak omon-omon, dan berlindung dibalik ketiak dpr dengan cara menaikkan gaji mereka meskipun tanpa prestasi kerja, meruipakan sebuah gaya lama dan cara lama pengecut dalam menutupi ketidakmampuan kinerjanya.
Ya, ini bukan gaya baru. Ini adalah cara lama yang pengecut, yang menutupi ketidakmampuan dengan kemewahan, membungkam kritik dengan retorika, dan mengabaikan suara rakyat dengan dalih stabilitas. Padahal, stabilitas tanpa keadilan hanyalah kedamaian semu.
Rakyat tidak butuh pemimpin yang pandai beretorika. Rakyat butuh pemimpin yang berani bertanggung jawab, yang hadir bukan hanya saat kampanye, tapi juga saat krisis. Dan ketika suara rakyat dianggap ancaman, maka yang sesungguhnya terancam adalah legitimasi kekuasaan mereka itu sendiri.
Janji Kampanye yang Menguap di Kursi Kekuasaan
Apalagi sangat berbeda jauh antara apa yang dikatakan waktu kampanye dengan apa yang dikatakan setelah menduduki kursi penguasa rezim.
Di masa kampanye, kata-kata manis berserakan seperti bunga di musim semi. Janji-janji ditebar seperti biasa….kesejahteraan, keadilan, keberpihakan kepada rakyat kecil.
Tetapi begitu kursi kekuasaan diduduki, bunga itu layu, janji itu menguap, dan yang tersisa hanyalah retorika kosong.
Sangat berbeda jauh antara apa yang dikatakan saat mencari suara, dengan apa yang dikatakan setelah suara itu dikantongi. Rakyat dijadikan alat, bukan tujuan. Aspirasi dijadikan slogan, bukan komitmen. Dan ketika rakyat menagih janji, mereka malah dicap sebagai pengganggu stabilitas.
Inilah wajah rezim yang lupa daratan. Mereka lupa bahwa kekuasaan bukan hak milik, melainkan mandat yang harus dipertanggungjawabkan. Mereka lupa bahwa rakyat bukan sekadar angka dalam pemilu, tetapi jiwa yang hidup dan berhak bersuara.
Affan Kurniawan: Cermin Borok Kekuasaan yang Tidak Lagi Berpihak
Sekali lagi, rakyat tertipu. Sekali lagi, janji-janji tinggal slogan. Dan kali ini, Affan Kurniawan menjadi saksi bisu yang membuka topeng busuk para pemimpin rezim ini.
Malam itu, anak muda bangsa itu meregang nyawa karena dilindas oleh kendaraan taktis polisi-polisi pengecut yang lari dari kepungan massa yang meluapkan kemarahannya, akibat dari tindakan represif mereka sendiri terhadap massa.
Affan Kurniawan bukan sekadar korban, dia telah menjadi simbol dari kebusukan yang selama ini disembunyikan di balik jas dan jabatan. Ketika seorang rakyat kecil harus meregang nyawa karena arogansi kekuasaan, maka seluruh bangsa inui harus kembali bertanya….siapa sebenarnya yang sedang dijaga oleh negara ini?
Ya, Affan menjadi tameng hidup bagi seluruh rakyat Indonesia yang masih membela kebenaran dan hak-haknya. Pembelaan yang terjadi karena mereka para pemimpin rezim dan orang-orang yang tak becus bekerja di DPR, yang mengaku-ngaku mewakili kedaulatan rakyat, padahal bahkan bertemu rakyat pun mereka tak berani.
Kalian bukan wakil kedaulatan. Kalian hanya mewakili kepentingan rakyat dalam urusan kenegaraan, dan itu pun sering kali tidak dijalankan dengan benar. Kedaulatan tetap milik rakyat. Tapi kalian bahkan tak memahami perbedaan mendasar itu. Lalu bagaimana kalian bisa mengemban amanah selanjutnya….Tolol !!
Rakyat tidak bodoh dan tolol seperti yang kalian sangkakan. Justru kalianlahg yang tolol, tetapi lebih beruntung karena kalian memiliki uang yang kebetulan lebih banyak dan koneksi politik busuk untuk menjadi seorang anggota DPR.
Rakyat hanya terlalu sabar. Tetapi kesabaran ada batasnya. Dan ketika batas itu dilampaui, maka suara rakyat bukan lagi bisikan, tetapi akan menjadi sebuah gelombang besar yang akan menggulung kalian.
Pemimpin rezim negara ini memang telah menyampaikan belasungkawa dan rasa sedih atas kematian Affan Kurniawan, serta menjanjikan perhatian khusus bagi keluarganya. Namun, banyak pihak menilai bahwa respons tersebut belum mencerminkan keseriusan dalam menindak tegas pelaku dan mereformasi sistem yang memungkinkan tragedi semacam ini terjadi.
Ucapan duka tidak cukup jika tidak diikuti dengan tindakan nyata dan transparan.
Rakyat tidak butuh simpati yang dibacakan dari teks. Rakyat butuh keberanian moral untuk mengakui kesalahan, memperbaiki sistem, dan memastikan bahwa nyawa sipil tidak lagi menjadi korban dari arogansi kekuasaan.
Krisis Kepercayaan: Dari DPR ke Istana
Rakyat tahu. Mereka tahu bahwa para pemimpin takut kehilangan jabatan, kursi empuk, dan kekuasaan yang sudah lama ketebelece. Ketika DPR tak lagi dipercaya, dan mosi mundur terhadap Kapolri mulai menggema, maka delegitimasi terhadap rezim bukanlah sekadar kemungkinan, tetapi ini Adalah sebuah konsekuensi logis.
Kematian Affan Kurniawan bukan hanya tragedi, tetapi titik balik. Dan ketika Presiden hanya merespons dengan pernyataan belasungkawa tanpa langkah konkret, maka rakyat berhak bertanya: apakah nyawa rakyat hanya layak diberi ucapan, bukan keadilan?
Jika pemimpin tidak berani bertindak, maka rakyat akan bertindak. Jika wakil rakyat tidak berani menemui rakyat, maka rakyat akan datang sendiri. Demokrasi tidak mati karena demonstrasi. Demokrasi mati ketika pemimpin takut pada suara rakyat.
Terimakasih Affan
Untuk keluarga besar Affan Kurniawan, saya pribadi sebagai rakyat Indonesia yang sangat menanggung malu secara moril terhadap kelakuan aparat negara saya sendiri, saya menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas gugurnya Affan Kurniawan, seorang anak bangsa yang menjadi korban dari sistem yang seharusnya melindungi, bukan melukai. Kehilangan ini bukan hanya milik anda sebagai keluarga Affan, tetapi luka kolektif seluruh rakyat yang mendambakan keadilan dan kemanusiaan.
Affan bukan sekadar nama dalam berita. Dia adalah simbol keberanian, suara yang tidak sempat selesai disampaikan, dan nyawa yang menjadi saksi atas bobroknya tata kelola kekuasaan.
Kepada Affan, pastinya saya juga dan seluruh rakyat menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga, karena lewat tragedi ini, topeng-topeng kekuasaan mulai terkuak, dan kesadaran publik pun mulai bangkit. Dan rakyat semakin paham, siapa sebenarnya pemimpin rezim, pejabat dan aparat, dan anggota parlemen yang sedang ‘mencengkram’ rakyatnya sendiri saat ini.
Semoga semangatmu sewaktu meluapkan protesnya terhadap ketidakadilan menjadi nyala api yang tidak pernah padam.
Suara rakyat tidak boleh dibungkam, dan bahwa keadilan bukan sekadar tuntutan, melainkan kewajiban negara.
Itulah suara Affan, suara kita semua.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 30 Agustus 2025
*Dosen Prodi PAI, dan Pascasarjana UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI